Adalah
EDUARD DOUWES DEKKER, yang lahir di Amsterdam dari kalangan
berkecukupan, beranjak dewasa kegelisahannya menyebabkan prestasinya di
sekolah merosot dari hari ke hari. Hal ini yang kemudian menyebabkan
ayahnya lalu mengeluarkannya dari sekolah dan menjadikannya seorang
buruh rendahan di sebuah kantor dagang. Perkenalannya dengan kemiskinan
dan serba kekurangan berpengaruh sangat besar pada kehidupannya di
kemudian hari.
Nasib
kemudian membawa Eduard DD pergi ke Hindia Belanda menumpang kapal
ayahnya. Pada tahun 1839 petualangannya di Hindia Belanda dengan dimulai
dengan menjadi seorang Ambtenaar (Pegawai Negeri). Perjalanannya
sebagai seorang ambtenaar tidak selalu berjalan dengan mulus, kekecewaan
atas perlakuan bangsanya bahkan para pejabat pribumi yang melakukan
pemerasan terhadap tenaga rakyat pribumi, menjadikan Eduard DD
mengundurkan diri dari jabatannya yang terakhir sebagai asisten residen
Lebak dan melakukan hidup sebagai bohemian di Eropa. Pada saat itulah
bukunya yang berjudul "Max Havelaar" ditulis dan diterbitkan (1860). Isi
buku tersebut adalah pengungkapan dalam versi fiksi tentang
pengalamannya pada saat menjadi Asisten residen di Lebak. Namanya
sendiri kemudian ia ganti menjadi , "Multatuli" yang berasal dari bahasa
latin yang berarti 'aku sudah banyak menderita'.
Kakak
Eduard DD yaitu Olaf DD mempunyai seorang cucu yang mempunyai jasa
besar bagi Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dr. ERNEST DOUWES
DEKKER yang lahir di Pasuruan, dalam perjalanan kariernya ia sempat
menjadi pegawai perkebunan kopi, bahkan ia juga pernah menjadi serdadu
bagi negerinya dalam perang Boer di Afrika, namun kembali pulang ke
Hindia Belanda. Pada masa itu Ernest DD lebih dikenal sebagai seorang
wartawan.
Dalam
karier menulisnya yang kebanyakan tentang kritik terhadap bangsa
Belanda dalam memperlakukan negara jajahannya, Ernest bertemu dengan dr.
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Ketiganya kemudian dikenal
dengan tiga serangkai. Mereka lalu mendirikan partai yang beranggotakan
siapa saja yang menginginkan kemerdekaan yang dinamakan Indische
Partij. Partai ini disambut sangat baik dengan mampu mengumpulkan
anggota hingga 7000 orang hanya dalam waktu 4 bulan. Perjuangan tiga
serangkai dengan juga menulis di surat kabar tentang kritik tentang
bangsa Belanda membuat mereka diasingkan serta dipenjara.
Dibubarkannya
IP pada tahun 1913 setahun setelah didirikannya mengubah haluan Ernest
yang kemudian mendirikan Ksatrian instituut mengikuti Suwardi
Suryaningrat yang terlebih dahulu mendirikan Taman Siswa. Namun
keterlibatannya dalam menulis buku sejarah yang dianggap antikolonial
membuatnya dilarang mengajar. Pengalaman pembuangannya yang terakhir
adalah ke Suriname pada tahun 1941. Kondisi fisiknya sangat buruk karena
berpindah-pindah penjara. Pada saat Soekarno mengumandangkan
kemerdekaan Indonesia, Ernest merasa perjuangannya tak sia-sia. Ia
kembali ke Indonesia dan melanjutkan perjuangannya dengan membantu
Soekarno dalam pemerintahan awal Indonesia. Karena jasa-jasa beliau,
Soekarno mengganti namanya menjadi Danudirdja Setiabudhi.
Dalam
memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia berbagai macam pengorbanan
dijalani baik oleh Eduard Douwes Dekker maupun Ernest Douwes Dekker.
Dasarnya adalah kebenciannya terhadap ketidakadilan dan kesewenangan
dari negara penjajah. Padahal darah penjajah lebih banyak mengalir di
tubuh mereka. Memperjuangkan kebenaran selalu tidak mudah. Kegigihan dan
pengorbanan mutlak perlu. Intisari lain yang bisa kita peroleh adalah
bahwa esensi pendidikan adalah salah satu cara untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan yang amat susah kita temukan di negeri ini.
Seperti juga keadilan bagi putra Ernest yang sekarang terbaring di Rumah
Sakit yang bernama sama dengan rekan ayahnya dulu, yang terpaksa
mengajukan diri sebagai warga 'miskin' karena tidak ada biaya untuk
operasinya. Apakah kita termasuk bangsa yang tidak tahu berterima kasih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar